Ditulis oleh: Ras Petir
Pernah dengar kalimat, “Kalau hidup di sini terasa sempit, ya kabur aja dulu?”
Saya pernah. Dan saya melakukannya.
Tahun 2024, saya meninggalkan Indonesia dan pergi ke Kamboja. Bukan untuk liburan. Bukan untuk gaya-gayaan. Tapi karena saya merasa terjebak di titik stagnan kehidupan—pekerjaan, tekanan, dan rutinitas yang membuat napas terasa berat walaupun paru-paru masih berfungsi normal.
“Lari” yang Tidak Benar-benar Lari
Saya pergi karena saya ingin mencari ruang. Tempat di mana saya bisa berpikir. Bisa bekerja tanpa banyak aturan sosial. Bisa merasa asing, karena dalam keasingan terkadang justru kita menemukan diri sendiri.
Awalnya saya pikir, Kamboja akan jadi pelarian yang sempurna.
Dan memang, pada titik tertentu, itu benar. Saya dapat pekerjaan. Saya bertemu orang-orang baru. Saya menyesap udara dengan cara yang berbeda—tidak lagi sebagai bagian dari sistem, tapi sebagai pengamat dari luar.
Tapi kabur itu tidak semudah lompat dari satu tempat ke tempat lain.
Realita di Negeri Orang
Di Kamboja, saya belajar bahwa jadi orang asing itu berarti:
-
Harus cepat belajar bahasa yang asing di telinga
-
Harus hati-hati tiap transaksi dan kontrak kerja
-
Harus tahan kalau sewaktu-waktu ‘kenyamanan’ itu bisa hilang
Tapi saya juga belajar bahwa saya ternyata bisa bertahan.
Saya belajar mengatur ulang prioritas. Saya belajar bahwa tidak semua orang di luar sana lebih bahagia dari kita—mereka juga berjuang, sama kerasnya.
Yang Tidak Diceritakan dari #KaburAjaDulu
Tagar ini viral. Banyak yang posting sambil bercanda:
“Kabur aja ke Jepang, ke Bali, ke Thailand, ke planet Mars.”
Tapi mereka lupa, bahwa setiap pelarian punya harga.
Harga dari kesepian. Dari tidak punya keluarga dekat. Dari rasa gagal yang tiba-tiba muncul di malam-malam tertentu.
Dan yang paling mahal—harga dari menemukan bahwa ternyata masalah kita ada dalam diri, bukan hanya dalam tempat kita berdiri.
Saya Pulang, Tapi Bukan Karena Gagal
Setelah beberapa bulan, saya kembali ke Indonesia.
Bukan karena kalah. Tapi karena saya menemukan hal-hal yang saya cari.
Ketenangan. Pemahaman. Dan keberanian untuk hidup sesuai jalan saya, bukan sekadar mengikuti alur yang dipaksa oleh sistem sosial.
Saya tidak menyesal pernah pergi.
Saya justru bersyukur. Karena di sanalah saya bertemu versi baru dari diri saya.
Dan kini, saya menulis ini bukan untuk menyuruh kamu kabur juga, tapi untuk mengingatkan:
Kadang yang kita butuhkan bukan pelarian, tapi kesempatan untuk melihat dunia dari sisi yang lain.
Jadi, Kalau Kamu Mau #KaburAjaDulu…
Lakukan. Tapi tahu tujuannya.
Karena kabur yang tanpa arah hanya akan membuatmu tersesat lebih jauh.
Tapi kabur yang dilakukan dengan sadar, bisa menjadi titik balik yang menyelamatkan hidupmu.
Posting Komentar untuk "#KaburAjaDulu: Saat Saya Meninggalkan Indonesia dan Menemukan Diriku di Kamboja"